PRODUK BERSAMA DAN PRODUK SAMPINGAN
BAB II
HARGA POKOK PRODUK BERSAMA DAN PRODUK SAMPINGAN
Berkembangnya
industri akan selalu memunculkan produk-produk baru. Perusahaan akan selalu
berusaha menciptakan produk yang dibutuhkan oleh konsumen. Akibatnya suatu
perusahaan tidak hanya memproduksi satu
produk tetapi beragam produk untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Hal ini
menjadikan masalah baru bagi perusahaan dalam perhitungan akuntansinya.
Bersumber dari masalah inilah kalkulasi produk bersama dan produk sampingan
menjadi penting untuk dibahas.
A.
KONSEP PRODUK BERSAMA DAN PRODUK SAMPINGAN
Sebelum membahas produk bersama dan produk sampingan maka
harus membahas biaya bersama terlebih dahulu karena pembagian produk menjadi
produk bersama dan produk sampingan bersumber dari biaya bersama.
Biaya bersama dapat diartikan sebagai biaya overhead
bersama yang harus dialokasikan ke berbagai departemen, baik dalam perusahaan
yang kegiatan produksinya berdasarkan pesanan ataupun secara massa.
Biaya Produk bersama juga
bisa diartikan sebagai biaya yang dikeluarkan sejak saat mula-mula bahan baku diolah sampai
dengan saat berbagai macam produk dapat dipisahkan identitasnya. Biaya produk
bersama ini terdiri dari biaya bahan baku, biaya tenaga kerja, dan biaya
overhead pabrik.
Biaya
produk bersama muncul dari produksi secara simultan atas berbagai produk dalam
proses yang sama. Ketika dua atau tiga produk di produksi dari sumber daya yang
sama maka akan terbentuk biaya gabungan. Biaya gabungan terjadi sebelum titik
pisah (split-off). Titik pisah adalah saat dihasilkannya dua atau lebih
produk bersama, dimana pada saat itu produk bersama bisa langsung dijual atau
diproses lebih lanjut.
Biaya bersama digunakan untuk
memproduksi berbagai produk, yaitu:
a. Produk bersama (joint-product)
Produk Bersama adalah beberapa macam produk yang
dihasilkan bersama- sama atau serempak dengan menggunakan satu macam atau
beberapa macam bahan baku, tenaga kerja dan fasilitas pabrik yang sama dan
masukkan (input) tersebut tidak diikuti jejaknya pada setiap macam produk
tertentu. Biaya produk bersama bersifat
homogen untuk seluruh produk sampai pada titik pisah. Nilai jual dari
masing-masing produk bersama relatif sama sehingga tidak ada produk yang
dianggap sebagi produk utama dan produk sampingan.
Contoh: Pabrik penyulingan minyak mentah (crude oil)
menghasikan minyak siap dikonsumsi berupa minyak gasolin, karosine, minyak
diesel (solar), minyak bakar, minyak tanah, dll.
a. Produk Sampingan (by-product)
Istilah
produk sampingan digunakan untuk suatu produk yang bernilai total relatif kecil
dan diproduksi secara berbarengan dengan produk yang bernilai lebih besar.
Produk yang nilainya lebih besar biasa disebut dengan produk utama. Produk
sampingan juga bisa diartikan sebagai produk yang bukan tujuan utama operasi perusahaan tetapi
tidak dapat dihindarkan terjadinya dalam proses pengolahan produk disebabkan
sifat bahan yang diolah atau karena sifat pengolahan produk, kuantitas dan
nilai produk sampingan relatif kecil dibandingkan dengan nilai keseluruhan
produk.
Pembedaan
produk utama dan produk sampingan terletak pada nilai jualnya. Jika nilai jual
salah satu produk relatif lebih kecil dari yang lainnya maka dikategorikan
sebagai produk sampingan, sedangkan apabila produk-produk yang dihasilkan
relatif sama maka dikategorikan sebagai produk bersama.
Contoh: pada pabrik penggergajian kayu,
kayu lapis dan papan kayu merupakan produk utama, sedangkan serbuk gergaji dan
kayu bakar merupakan produk sampingan.
b. Produk sekutu
(coproduct)
Produk
sekutu dapat didefinisikn sebagai beberapa macam produk yang dihasilkan
dalam waktu yang sama, tetapi tidak berasal dari proses pengolahan yang sama
atau tidak dari bahan baku yang sama.
Contoh : Pabrik penggergajian dapat
menghasilkan papan kayu dan kayu lapis dari berbagai jenis kayu log (kayu
gelonggongan) yang diproses sehingga macam produk yang dihasilkan dapat berupa
papan kayu jati, kayu meranti, kayu kanfer, begitu pula dapat dihasilkan kayu
lapis jati,meranti atau kanfer.
Sifat Produk Bersama, Produk Sampingan Dan Produk Sekutu
Produk bersama dan produk sekutu memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Produk bersama dan
produk sekutu merupakan tujuan utama kegiatan produksi.
b. Dengan mengolah produk
bersama, produsen tidak dapat menghindarkan diri untuk menghasilkan semua jenis
produk bersama, jika ingin memproduksi salah satu diantara prduk bersama
tersebut.
c. Produk diproses secara bersamaan dan
setiap produk mempunyai nilai yang relatif sama antara satu dengan yang
lainnya.
d. Setiap produk mempunyai hubungan fisik yang
sangat erat dalam proses produksi. Apabila terjadi peningkatan kualitas untuk
satu unit jenis produk yang dihasilkan, maka kualitas yang lain akan bertambah
secara proporsional.
e. Dalam produk bersama dikenal istilah Split-Off Point adalah saat dimana
produk-produk tersebut dapat diidentifikasi atau dipisah ke masing-masing
produk secara individual.
f. Setelah Split-Off Point (titik pisah) tersebut dapat dijual pada titik
pisah (secara langsung) dan dapat juga dijual setelah pisah (setelah proses
lebih lanjut) untuk mendapatkan produk yang lebih menguntungkan. Biaya yang
dikeluarkan untuk memproses produk lebih lanjut disebut biaya proses lanjutan atau biaya setelah
titik pisah (severable cost)
Produk sampingan dapat digolongkan sesuai dengan dapat
tidaknya produk tersebut dijual pada saat terpisah dari produk utama.
a. Produksi sampingan
yang dapat dijual setelah terpisah dari produk utama, tanpa memerlukan
pengolahan lebih lanjut.
b. Produk sampingan yang memerlukan proses pengolahan lebih
lanjut setelah terpisah dari produk utama.
A.
AKUNTANSI PRODUK BERSAMA
Perusahaan
yang menghasilkan produk bersama pada umumnya menghadapi masalah pemasaran
berbagai macam produknya, karena masing-masing produk mempunyai masalah
pemasaran dan harga jual yang berbeda. Manajemen biasanya ingin mengetahui
kontribusi masing-masing produk pada pendapatan perusahan. Oleh karena itu,
perlu diketahui secara teliti biaya yang dibebankan pada masing-masing produk
sebagai dasar perhitungan harga pokok setiap produk.
Alokasi
Biaya merupakan pembebanan biaya secara proposional dari biaya tidak langsung
atau biaya bersama ke objek biaya. Biaya bersama sulit diperhitungkan kepada
masing-masing produk, oleh karena itu untuk memudahkan dalam perhitungan
diperlukan alokasi biaya.
Manfaat
menghitung alokasi biaya dalam produk bersama adalah:
1. Menghitung harga pokok dan menentukan nilai
persediaan untuk tujuan pelaporan keuangan internal dan eksternal.
2. Menilai persediaan untuk tujuan asuransi.
3. Menentukan nilai persediaan jika terjadi
kerusakan terhadap nilai barang yang rusak.
4. Biaya bahan yang hancur.
5. Menetukan biaya departemen atau divisi untuk
tujuan pengukuran kinerja eksekutif.
6. Pengaturan tarif karena adanya sebagian
produk atau jasa yang diproduksi dikenakan peraturan harga.
7. Mengetahui besarnya kontribusi masing-masing
produk bersama terhadap total pendapatan perusahaan.
8. Mengetahui seluruh biaya produksi yang
dibebankan ke masing-masing produk bersama
Biaya produk bersama dialokasikan ke setiap produk
bersama menggunakan metode nilai pasar, rata-rata biaya per satuan, rata-rata tertimbang dan unit
kuantitatif.
a) Metode Nilai Pasar / Nilai
Jual Relatif
Metode
ini adalah metode yang sangat populer karena dengan argumennya bahwa harga
produk merupakan manifestasi dari biaya produksinya. Metode ini mengasumsikan bahwa setiap
produk yang dihasilkan dalam proses produksi bersama memilki nilai jual atau
nilai pasar yang berbeda. Perbedaan nilai pasar disebabkan tingkat
pemakaian biaya yang berbeda.
Metode
ini berpendapat bahwa jika salah satu produk terjual lebih tinggi daripada yang
lainnya, hal itu terjadi karena biaya yang dikeluarkan untuk memproduksinya
juga lebih tinggi dibandingkan produk lain. Jadi dalam metode ini kelangkaan
tidak mempunyai pengaruh dalam menentukan harga jual. Karena asumsi itulah,
cara yang logis untuk mengalokasikan biaya bersama adalah berdasarkan pada
nilai jual relatif masing-masing produk bersama.
Terdapat dua metode dalam metode
nilai jual relatif, yaitu:
1.
Metode nilai pasar saat split-off point
Metode
ini digunakan ketika setelah split-off
point tidak ada proses produksi lanjutan dan harga jual sudah diketahui
pada saat itu. Biaya bersama
(joint cost) dialokasikan ke masing-masing produk sesuai dengan perbandingan
nilai jualnya terhadap nilai jual keseluruhan
produk bersama.
Contoh :
PT “ABC” memproduksi 3 macam produk yaitu alfa, beta dan gamma. Biaya
bersama yang dikeluarkan selama satu periode adalah sebsar Rp 20.000.000,00.
Jumlah produksi dan harga jual masing-masing produk tertera pada table berikut:
Produk
|
Jumlah unit
|
Harga unit
|
Alfa
|
5.000
|
Rp 1000
|
Beta
|
10.000
|
Rp 1500
|
Gamma
|
7.000
|
Rp 1300
|
Penyelesaian :
Produk
|
Jumlah unit
|
Harga unit
|
Nilai jual
|
Rasio
|
Alokasi
|
HPP/ unit
|
Alfa
|
5.000
|
1000
|
5.000.000
|
22,62%
|
4.524.000
|
904,8
|
Beta
|
10.000
|
800
|
8.000.000
|
36,20%
|
7.240.000
|
724
|
Gamma
|
7.000
|
1300
|
9.100.000
|
41,18%
|
8.236.000
|
1.176,5
|
Jumlah
|
22.100.000
|
100%
|
20.000.000
|
2.
Metode nilai jual hipotesis
Apabila
suatu produk tidak bisa dijual pada saat titik pisah, maka harga tidak dapat
diketahui pada saat titik pisah. Produk tersebut memerlukan proses tambahan
sehingga harga jual tidak dapat dikethui sebelum dijual (setelah titk pisah).
Dasar yang dapat digunakan dalam mengalokasikan biaya bersama adalah harga
pasar hipotesis.
Harga
pasar hipotesis adalah nilai jual suatu produk
setelah diproses lebih lanjut dikurangi dengan biaya yang dikeluarkan untuk
memproses lanjutan setelah pemisahan.
Contoh :
Dengan menggunakan data perusahaan PT. ABC pada contoh soal
metode nilai pasar, diketahui biaya proses lanjutan masing-masing produk adalah
sebagai berikut:
Keterangan
|
Produk Alfa
|
Produk Beta
|
Produk Gamma
|
Unit Produksi
|
5.000
|
10.000
|
7.000
|
Harga Jual/unit
|
Rp1.000
|
Rp800
|
Rp1.300
|
Biaya Proses
lanjutan/unit
|
Rp400
|
Rp300
|
Rp500
|
Produk bersama
|
Hrg jual/ kg
|
Biaya Tmbhan
|
Nilai jual Hipotesis*
|
Jmlh Prduk
|
Nilai jual
|
Rasio
|
Alokasi** (20.000.000)
|
HPP /kg
|
Alfa
|
1.000
|
400
|
600
|
5.000
|
3.000.000
|
22,06%
|
4.412.000
|
882,4
|
Beta
|
800
|
300
|
500
|
10.000
|
5.000.000
|
36,76%
|
7.352.000
|
735,2
|
Gamma
|
1.300
|
500
|
800
|
7.000
|
5.600.000
|
41,18%
|
8.236.000
|
1.176,6
|
13.600.000
|
100%
|
20.000.000
|
*(Harga jual – biaya tambahan)
**(rasio x 20.000.000)
b) Metode
rata-rata biaya per satuan
Metode ini berupaya untuk mendistribusikan
total biaya produksi gabungan ke berbagai produk atas dasar biaya per unit. Metode ini digunakan
jika dari satu proses produksi bersama dihasilkan beberapa produk yang bisa diukur dalam satuan yang sama
meskipun dalam kualitas yang berbeda-beda. Perusahaan yang menggunakan metode
ini berpendapat bahwa semua produk yang dikerjakan dengan proses yang sama
harus menerima bagian yang sebanding dengan total biaya gabungan berdasarkan
unit yang diprosuksi. Penentuan biaya untuk setiap produk dihitung sesuai
dengan proporsi kuantitas masing-masing produk yang dihasilkan.
Contoh :
Suatu perusahaan menghabiskan biaya Rp
2.000.000 untuk memproduksi 1000 liter produk dari minyak mentah. Rata-rata
biaya produksi per unit adalah Rp 2.000 (Rp 2.000.000/1000)
Produk
|
Kuantitas
|
Rata-rata biaya per satuan
|
Alokasi biaya bersama
|
Bensin
|
350
|
Rp 2.000
|
Rp 700.000
|
Pelumas
|
250
|
Rp 2.000
|
Rp 500.000
|
Minyak Tanah
|
300
|
Rp 2.000
|
Rp 600.000
|
Solar
|
100
|
Rp 2.000
|
Rp 200.000
|
Jumlah
|
1000
|
Rp 2.000.000
|
c) Metode rata-rata tertimbang
Pada banyak industri, metode-metode yang telah dibahas
diatas tidak dapat memberika solusi yang memuaskan dalam mengalokasikan biaya
bersama karena tidak mempertimbangkan segi kualitas dari suatu produk. Sehingga
mucullah metode yang menggunakan bobot sebagai presentasi dari ukuran besarnya
unit, kesulitan pembuatan, waktu yang dibutuhkan dan sebagainya sebagai dasar
untuk mengalokasikan biaya bersama. Penentuan alokasi biaya bersama pada setiap produk didasarkan
atas perkalian jumlah unit produk dengan angka penimbang, dan hasilnya
digunakan sebagai dasar untuk alokasi.
Contoh :
Dari soal pada metode kedua (metode rata-rata biaya per
satuan), diketahui bobot untuk bensin 4, pelumas 2, minyak tanah 3 dan solar 1.
Alokasi biaya
bersamanya sebagai berikut :
Produk
|
Jumlah produk
|
Angka penimbang
|
Jumlah produk x angka penimbang
|
Alokasi biaya bersama (2.000.000)
|
Bensin
|
350
|
4
|
1400
|
Rp 965.517
|
Pelumas
|
250
|
2
|
500
|
Rp344.826
|
Minyak tanah
|
300
|
3
|
900
|
Rp620.689
|
Solar
|
100
|
1
|
100
|
Rp. 68.966
|
Total
|
1000
|
2.900
|
Rp
2.000.000
|
d) Metode unit kuantitatif /
satuan fisik
Metode kuantitatif berupaya mendistribusikan total biaya
gabungan berdasarkan satuan ukuran tertentu seperti kilogram, ton, liter, meter
dan sebagainya. Jika produk bersama mempunyai ukuran yang berbeda maka harus
ditentukan koefisien ekuivalesinya yang digunakan untuk mengubah satuan yang
berbeda kedalam satuan yang sama. Metode ini beranggapan bahwa setiap produk dapat diidentifikasi
sesuai dengan tingkat pemanfaatan bahan baku dalam ukuran satuan yang sama.
Contoh :
Berikut adalah data produk yang dihasilkan dari satu ton
batu bara yang menghabiskan biaya sebesar Rp 1.000.000 :
Produk
|
Kuantitas (pon)
|
Presentase (%)
|
Alokasi Biaya Bersama
|
Kokas
|
1.200
|
60%
|
Rp 600.000
|
Ter Batu Bara
|
300
|
15%
|
Rp 150.000
|
Gas
|
500
|
25%
|
Rp 250.000
|
Jumlah
|
2.000
|
100%
|
Rp 1.000.000
|
B. Perhitungan Harga
Pokok Produk Sampingan
Setelah mempelajari konsep dan cara perhitungan harga pokok produk
gabungan, maka tidak lengkap jika tidak membahas harga pokok produk sampingan.
Hal ini dapat dimengerti karena keduanya mempunyai hubungan yang erat. Dalam
produk sampingan, yang menjadikan permasalahan adalah bagaimana memperlakukan
pendapatan penjualan produk sampingan tersebut.
Pengakuan adanya produk sampingan ini menyangkut perlakuan terhadap harga
pokok produk sampingan, biaya untuk memproses produk sampingan, dan hasil
penjualan produk sampingan. Alokasi biaya bersama kepada produk utama dan
produk sampingan pada umumnya dianggap tidak perlu, karena nilai produk
sampingan relatif rendah bila dibandingkan dengan produk utama. Tetapi dalam
kenyataannya ada beberapa metode yang mengalokasikan biaya bersama kepada
produk utama dan produk sampingan. Metode-metode akuntansi yang dapat diterima
untuk menetapkan biaya produk sampingan dibagi dalam dua kategori, yaitu:
a. Metode Tanpa Harga Pokok
(Non-Cost Methods)
Dalam metode ini, Harga pokok produk sampingan atau persediannya tidak
diperhitungkan, tetapi memperlakukan pendapatan penjualan prduk sampingan
sebagai pendapatan atau pengurang biaya prduksi produk utama. Dalam rangka
perhitungan biaya persediaan, suatu nilai yang berdiri sendiri dapat dibebankan
ke produk sampingan.
Metode tanpa harga pokok adalah suatu metode dalam perhitungan
produk sampingan tidak memperoleh alokasi biaya bersama dari pengolahan produk
sebelum dipisah. Metode tanpa harga
pokok dibagi menjadi 2 macam:
1. Produk sampingan dapat
langsung dijual pada saat saat titik pisah (split-off point) atau pengakuan atas pendapatan kotor.
Metode ini memperlakukan penjualan
produk sampingan berdasarkan penjualan kotor. Hal ini dilakukan karena biaya
persediaan final dari produk utama dianggap terlalu tinggi sehingga menanggung
biaya yang seharusnya dibebankan pada produk sampingan. Dalam metode ini
penjualan atau pendapatan produk sampingan dalam laporan laba rugi dapat dikategorikan
sebagai berikut :
a) Pendapatan penjualan produk
sampingan dicatat sebagai penghasilan diluar usaha.
Dalam metode ini pendapatan yang
diperoleh dari penjualan produk sampingan dikurangi dengan returnya, dicatat
dalam rekening “Pendapatan Penjualan Produk Sampingan” dan pada akhir periode
akuntansi ditutup ke rekening Rugi-Laba. Rekening pendapatan penjualan produk
sampingan dicantumkan dalam laporan Laba-Rugi pada kelompok penghasilan di luar
usaha (other income).
Metode ini tidak mencoba untuk
menentukan harga pokok sampingan. Metode ini cocok bila
digunakan pada perusahaan yang:
- Nilai produk sampingnya tidak
begitu penting atau tidak dapat ditentukan.
- Penggunaan metode yang lebih
teliti tidak sebanding dengan manfaat yang diperoleh.
- Pemisahan produk sampingan dari
produk utama tidak begitu jelas dan pembebanan harga pokok produk sampingan
pada produk utama tidak mengakibatkan perbedaan yang mencolok pada
harga pokok produk utama.
Terdapat beberapa kekurangan pada metode pendapatan penjualan produk
sampingan dicatat sebagai penghasilan diluar usaha, yaitu:
- Apabila pada akhir periode
akuntansi terdapat persediaan pokok sampingan, maka timbul masalah penilaian
persediaan untuk tujuan pembuatan neraca perusahaan. Pada umumnya persediaan
akhir produk sampingan tidak diadakan penilaian sehingga mengakibatkan harga
pokok persediaan produk utama lebih besar.
- Dapat mengakibatkan
perbandingan pendapatan dan biaya yang kurang tepat karena perbedaan periode
akuntansi. Pada saat produk sampingan selesai diproduksi tidak ada pencatatan
jurnal, pencatatan dilakukan ketika produk
dijual. Apabila produksi dan penjualannya tidak dalam satu periode maka
perhitungan pendapatan dan biaya menjadi kurang
tepat.
- Tidak adanya pengawasan dari
terhadap persediaaan produk sampingan mengakibatkan rawan terjadi penggelapan.
- Dapat mengaburkan gambaran
menyeluruh tentang hasil usaha perusahaan.
Contoh : Diketahui data dari kegiatan operasional perusahaan “ABC” sebagai
berikut:
Unit Produksi Produk Utama
|
16.200 unit
|
Unit Penjualan Produk Utama
|
13.500 unit
|
Unit Persediaan Awal Produk Utama
|
500 unit
|
Harga Jual per Unit
|
Rp750
|
Biaya
produksi/unit produk utama
|
Rp500
|
Hasil Penjualan Produk Sampingan (2.000xRp300)
|
Rp600.000
|
Beban Pemasaran dan Administrasi Produk Utama
|
Rp2.925.000
|
Laporan laba-rugi sebagai berikut:
Penjualan produk utama Rp
10.125.000
Harga Pokok Penjualan :
Persediaan awal (500xRp 500) Rp 250.000
Total biaya produksi (16.200 x Rp 500) Rp 8.100.000 +
Tersedia dijual Rp 8.350.000
Persediaan akhir (3.200 x Rp
500) Rp 1.600.000
-
Rp
6.750.000-
Laba Kotor Rp
3.375.000
Beban pemasaran dan administrasi Rp 2.925.000-
Laba operasi Rp
450.000
Pendapatan lain-lain :
Pendapatan penjualan produk sampingan Rp 600.000+
Laba sebelum pajak Rp 1.050.000
Pendapatan penjualan produk sampingan dijadikan sebagai pendapatan
lain-lain sehingga akan menambah laba operasi secara langsung.
b) Pendapatan penjualan produk
sampingan dicatat sebagai tambahan pendapatan penjualan produk utama.
Metode ini merupakan variasi dari
metode pertama. Semua biaya produksi dikurangkan dari pendapatan penjualan
semua produk (baik utama maupun sampingan) untuk mendapatkan laba bruto. Dalam
metode ini tidak ada alokasi biaya bersama seperti dalam metode pertama.
Dengan menggunakan data perusahaan
“ABC”, maka laporan laba-rugi menggunakan metode ini akan tampak sebagai
berikut:
Penjualan Rp 10.125.000
Pendapatan penjualan produk sampingan Rp 600.000+
Penjualan bersih Rp 10.725.000
Harga Pokok Penjualan :
Persediaan awal (500xRp 500) Rp 250.000
Total biaya produksi (16.200 x Rp 500) Rp 8.100.000 +
Tersedia dijual Rp
8.350.000
Persediaan akhir (3.200 xRp 500) Rp 1.600.000 -
Rp 6.750.000-
Laba Kotor Rp
3.975.000
Beban pemasaran dan administrasi Rp
2.925.000-
Laba operasi Rp
1.050.000
Dari laporan laba rugi diatas,
ditampilkan Rp600.000 dari penjualan produk sampingan sebagai
tambahan penjualan produk utama. Akibatnya total pendapatan menjadi Rp 10.725.000,00. Sedangkan angka lainnya tetap
sama.
c) Pendapatan penjualan produk
sampingan dicatat sebagai pengurang harga pokok penjualan.
Dari data perusahaan “ABC”, jika dibuat laporan laba-rugi dengan metode in maka akan menjadi:
Penjualan Rp
10.125.000
Harga Pokok Penjualan :
Persediaan awal (500xRp 500) Rp 250.000
Total biaya produksi (16.200 x Rp 500) Rp 8.100.000 +
Tersedia
dijual Rp 8.350.000
Persediaan akhir (3.200 x Rp 500) Rp 1.600.000
-
Harga pokok penjualan Rp 6.750.000
Pendapatan penjualan produk sampingan Rp
600.000 -
Rp 6.150.000
-
Laba Kotor Rp 3.975.000
Beban pemasaran dan administrasi Rp 2.925.000
-
Laba operasi Rp 1.050.000
Dalam kasus ini, hasil penjualan produk sampingan sebesar Rp600.000 dikurangkan pada harga pokok penjualan sehingga HPP
menjadi Rp6.150.000 (HPP sebelum dikurangkan sebesar Rp
6.750.000).
d) Pendapatan penjualan produk
sampingan dicatat sebagai pengurang total biaya produksi.
Pada metode ini, hasil penjualan produk sampingan sebesar Rp600.000 dikurangkan pada total biaya produksi sebesar Rp
8.100.000 sehingga menghasilkan biaya produksi netto sebesar Rp7.500.000. Pegurangan ini menyebabkan biaya per unit rata-rata
menjadi Rp464,07 (7.500.000+250.000
: 16.700)
Konsekuansinya persediaan akhir sebesar Rp 1.600.000,00 menjadi Rp1.485.024,00
Laporan laba rugi akan tampak sebagai berikut :
Penjualan Rp
10.125.000
Harga Pokok Penjualan :
Persediaan awal (500x500) Rp 250.000
Total biaya produksi (16.200 x 500) Rp 8.100.000
Pendapatan penjualan PS Rp 600.000-
Rp
7.500.000+
Tersedia dijual Rp
7.750.000
Persediaan akhir (3.200 x 464,07) Rp
1.485.024
-
Rp 6.264.976
-
Laba Kotor Rp 3.860.024
Beban pemasaran dan administrasi Rp 2.925.000
-
Laba operasi Rp 935.024
2. Produk
sampingan memerlukan proses lanjutan setelah dipisah dari produk utama atau pengakuan atas
pendapatan bersih.
Dalam metode ini disadari kebutuhan untuk membebankan sebagian biaya ke produksi
sampingan. Tetapi bukan berarti mengalokasikan biaya produk utama ke produk
sampingan. Biaya pemrosesan dan pemasaran produk sampingan setelah pemisahan
dicatat dalam perkiraan yang berbeda dengan produk utama. Angka-angka yang ada
tetap akan diperhitungkan didalam laporan laba-rugi sesuai dengan metode yang
ada pada metode pertama.
Ayat jurnal dalam metode ini juga
terdiri atas pembebanan biaya setelah pemisahan (proses lanjutan) terhadap
hasil penjualan produk sampingan. Beban pemasaran dan administrasi juga dialokasikan kedalam produk sampingan sesuai tarif yang telah
direncanakan sebelumnya.
Dalam metode ini hasil penjualan bersih
produk sampingan dapat dihitung, yaitu :
Penjualan/pendapatan produk sampingan Rp xxxxxx
Biaya proses lanjutan produk sampingan Rp xxxxxx
Biaya pemasaran dan biaya administrasi Rp
xxxxxx +
Rp xxxxxx +
Penjualan/ Pendapatan Bersih Produk
Sampingan Rp xxxxxx
Pendapatan bersih produk sampingan
inilah yang nantinya akan dimaksukkan pada perhitungan laporan laba-rugi.
Seperti metode pertama, dalam
menghitung harga pokok produk sampingan metode kedua juga bisa dilkaukan dengan
metode-metode yang ada pada metode pertama, yaitu:
1. Diperlakukan sebagai
penghasilan diluar usaha atau pendapatan lain-lain.
2. Diperlakukan sebagai
penambah penjualan atau pendapatan produk utama.
3. Diperlakukan sebagai
pengurang harga pokok penjualan.
4. Diperlakukan sebagai
pengurang biaya produksi.
b. Metode-Metode Harga Pokok
(Cost Methods)
Dalam metode ini pengalokasian
biaya produk sampingan hampir sama dengan produk bersama yaitu sebagian biaya bersama
dialokasikan kepada produk sampingan dan menentukan harga pokok persediaan
produk sampingan dengan biaya yang dialokasikan tersebut. Ada dua metode yang
berdasarkan dpada metode harga pokok, yaitu:
1. Metode biaya pengganti
Metode biaya pengganti biasanya
digunakan pada perusahaan yang produk sampingannya digunakan sendiri, sehingga
tidak perlu membeli bahan dari pemasok luar. Harga pokok yang diperhitungkan
adalah sebesar harga beli atau biaya pengganti (replacement cost) yang berlaku
di pasar. Harga pokok ini kemudian dikreditkan pada rekening Barang Dalam
Proses-Biaya Bahan Baku (BDP-BBB), sehingga mengurangi biaya produksi produk
utama. Pengurangan biaya produksi produk utama ini akan mengakibatkan harga
pokok persediaan produk utama menjadi lebih rendah.
Contoh:
Misalkan diketahui data sebagai berikut :
Jumlah
biaya produksi untuk 10.000kg produk utama
|
700.000
|
Pendapatan
penjualan (9000 x 120)
|
1.080.000
|
Biaya
pengganti produk sampingan yang digunakan dalam pengolahan produk utama
|
50.000
|
Biaya
pemasaran dan administrasi&umum
|
100.000
|
Persediaan
akhir produk
|
1000kg
|
Laporan laba rugi :
Pendapatan
penjualan produk utama Rp
1.080.000
HPP:
Biaya
produksi Rp
700.000
Dikurangi:
biaya pengganti produk smpingan Rp
50.000 -
Rp
650.000
Dikurangi:
Persediaan akhir (1000kg x Rp65)* Rp 65.000-
Rp 585.000-
Laba
bruto Rp 495.000
Biaya
pemasaran dan admnstrasi&umum Rp 100.000-
Laba
bersih sebelum PPh Rp 395.000
*Rp650.000
: 10.000kg = Rp65
2. Metode pasar
Metode pasar juga disebut dengan metode
pembatalan biaya (reversal cost methods). Metode ini sebenarnya hampir sama
dengan metode tanpa harga pokok-pendapatan produk sampingan mengurangi biaya
produksi. Tetapi ada seedikit perbedaan yaitu kalau pada metode
pertama (metode tanpa harga pokok-pendapatan produk sampingan mengurangi biaya
produksi) yang dikurangkan dari total biaya produksi adalah pendapatan
penjualan sesungguhnya produk sampingan, sedangkan pada metode nilai pasar yang
dikurangkan adalah taksiran nilai pasar produk sampingan. Metode ini berusaha untuk menaksir biaya produk sampingan berdasarkan nilai pasarnya.
Contoh :
Misalkan diketahui perusahaan XYZ memproduksi produk utama sebanyak 900 buah dan produk sampingan
sebanyak 100 buah. Produk sampingan jika dijual akan laku sebesar Rp 500/buah.
Biaya bersama yang dikeluarkan sebanyak Rp1.600.000. hitunglah harga pokok
produk utama dan produk sampingan!
Penyelesaian :
Keterangan
|
Produk
Utama
|
Produk
Sampingan
|