PEMBUKUAN / PENCATATAN PERPAJAKAN
PEMBUKUAN
2.1. Kewajiban
Menyelenggarakan Pembukuan
Pembukuan / pencatatan pajak di pergunakan sebagai
dasar penghitungan pajak terutang pada suatu tahun pajak, selain itu, informasi
yang benar dan lengkap penghasilan wajib pajak sangat penting untuk dapat
mengenakan pajak yang adil dan wajar senilai dengan kemampuan ekonomis wajib
pajak. Untuk dapat menyajikan informasi yang di maksud. Wajib pajak
harus menyelengarakan pembukuan. Dimana dengan pembukuan tersebut wajib pajak
dapat mengetahui sendiri berapa besanya pajak terutang, menyetor dan melapor
pajak.
Laporan keuangan yang disusun perusahaan biasanya harus
disesuaikan dengan peraturan fiskal ketika laporan keuangan tersebut sebagai
dasar pada SPT PPh yang disampaikan ke kantor pajak. Hal ini disebabkan laporan
keuangan perusahaan mengacu pada standar akuntansi komersial. Untuk memenuhi
kebutuhan pelaporan pajak maka perusahaan melakukan penyesuaian fiskal (koreksi
fiskal). Dengan adanya perbedaan antara laba (rugi) menurut perhitungan
akuntansi komersial dengan akuntansi fiskal, maka sebelum menghitung Pajak
Penghasilan yang terutang, terlebih dahulu laba/rugi komersial tersebut harus
dilakukan koreksi-koreksi fiskal sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2000.
Pengertian
Pembukuan yaitu proses pencatatan secara teratur untuk mengumpulkan data dan
informasi tentang
a. Keadaan
harta
b. Kewajiban
atau utang
c. Modal
d. Penghasilan
dan biaya
e. Harga
perolehan dan penyerahan barang / jasa yang
- Terutang pajak pertambahan
nilai (PPN)
- Tidak terutang PPN
- Dikenakan PPN dengan tarif 0%
- Dikenakan pajak penjualan
atas barang mewah
Pembukuan
ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan perhitungan laba
rugi pada setiap akhir tahun pajak.
A. Yang Wajib Menyelenggarakan Pembukuan
1. Wajib Pajak (WP) Badan;
2. Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha
atau pekerjaan bebas, kecuali Wajib Pajak Orang Pribadi yang peredaran brutonya
dalam satu tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00 (Empat milyar delapan ratus
juta rupiah).
B. Yang Wajib Menyelenggarakan Pencatatan
B. Yang Wajib Menyelenggarakan Pencatatan
1. Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha
atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam satu tahun kurang dari
Rp4.800.000.000,00 (empat milyar delapan ratus juta rupiah), dapat menghitung
penghasilan neto dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto, dengan
syarat memberitahukan ke Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 bulan
pertama dari tahun pajak yang bersangkutan;
2. Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan
usaha atau pekerjaan bebas
C. Syarat-Syarat Penyelenggaraan Pembukuan/Pencatatan
1. Diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.
1. Diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.
2. Diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf
Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah dan disusun dalam bahasa Indonesia
atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan.
3. Diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan
stelsel akrual atau stelsel kas.
4. Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang
selain Rupiah dapat diselenggarakan oleh WP setelah mendapat izin Menteri
Keuangan.
5. Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.
5. Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.
D. Syarat-Syarat Penyelenggaraan Pencatatan
1. Pencatatan harus menggambarkan antara lain :
a. Peredaran atau penerimaan bruto dan/atau jumlah
penghasilan bruto yang diterima dan/atau diperoleh;
b. Penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau penghasilan
yang pengenaan pajaknya bersifat final.
2. Bagi WP yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha
dan/atau tempat usaha, pencatatan harus menggambarkan secara jelas untuk
masing-masing jenis usaha dan/atau tempat usaha yang bersangkutan.
3. Selain kewajiban untuk menyelenggarakan pencatatan, WP
orang pribadi harus menyelenggarakan pencatatan atas harta dan kewajiban.
E.Tujuan Penyelenggaraan Pembukuan/Pencatatan
Tujuannya adalah untuk mempermudah:
1. Pengisian SPT;
2. Penghitungan Penghasilan Kena Pajak;
3. Penghitungan PPN dan PPnBM;
4. Penyelenggaraan pembukuan juga untuk mengetahui posisi
keuangan dan hasil kegiatan usaha/pekerjaan bebas.
MASIH banyak Wajib Pajak yang kebingungan
dengan konsep pembukuan atau pencatatan. Selain bingung tentang konsepnya,
Wajib Pajak juga bingung menentukan apakah harus menggunakan pembukuan, atau
pencatatan? Tulisan ini akan mengupas habis mengenai pembukuan dan pencatatan.
Pembukuan merupakan suatu proses
pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi
keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya,
serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup
dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk
periode tahun pajak tersebut. Pembukuan merupakan kegiatan utama dalam
akuntansi komersial. Sedangkan Pencatatan merupakan proses pengumpulan data
secara teratur tentang peredaran atau penerimaan bruto dan/atau penghasilan
bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang, termasuk
penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai pajak yang bersifat
final. Kewajiban menyelenggarakan pembukuan dan pencatatan diatur dalam Pasal
28 UU KUP.
Saya Wajib Pembukuan atau
Pencatatan?
Pertanyaan ini akan terjawab melalui beberapa
penjelasan sebagai berikut:
1) Jika Anda merupakan Wajib Pajak Badan, maka Anda wajib menyelenggarakan pembukuan. Tidak peduli
berapa-pun peredaran bruto Anda dalam satu tahun pajak, Anda tetap harus
menyelenggarakan pembukuan.
2) Jika Anda merupakan Wajib Pajak Orang Pribadi, perhatikan penjelasan berikut
ini:
2a) Jika Anda merupakan Wajib
Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan
kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, maka tidak perlu menyelenggarakan pembukuan.
2b) Jika Anda merupakan Wajib
Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, perhatikan
penjelasan berikut ini:
2b1) Jika Anda merupakan Wajib
Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang
berdasarkan ketentuan Pasal 14 UU PPhdiperbolehkan menghitung
penghasilan neto dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto, yaitu
Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
yang peredaran bruto-nya dalam 1 tahunkurang dari
4,8 miliar rupiah, maka Anda tidak wajib
menyelenggarakan pembukuan tetapi
wajib melakukan pencatatan
2b2) Jika Anda merupakan Wajib
Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang
peredaran bruto-nya dalam 1 tahun lebih dari
4,8 miliar rupiah, maka Anda wajib menyelenggarakan
pembukuan
2b3) Jika Anda merupakan Wajib
Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang
sesuai ketentuan tidak diperbolehkanmenghitung
penghasilan neto dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto,
meskipun peredaran bruto-nya dalam 1 tahun kurang dari 4,8 miliar rupiah,
maka Anda wajib menyelenggarakan
pembukuan Sebagaimana kita ketahui,
penghasilan neto digunakan untuk menentukan Penghasilan Kena Pajak yang akan
dikenai pajak berdasarkan tarif pasal 17 UU PPh. Sehingga kata-kata
‘penghasilan neto’ merupakan rujukan untuk menunjukkan bahwa penghasilan
tersebut merupakan penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU
PPh, bukan Pasal 4 ayat (2) apalagi Pasal 4 ayat (3). Sehingga Wajib Pajak yang
penghasilannya bukan merupakan penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 4
ayat (1), wajib menyelenggarakan
pembukuan. Misalnya Wajib Pajak Orang Pribadi yang bergerak dalam bidang usaha
konstruksi atau persewaan tanah dan bangunan harus menyelenggarakan pembukuan,
meskipun peredaran brutonya di bawah 4,8 miliar rupiah.
Sampai dengan tulisan ini dibuat,
penjelasan nomor 2b3 merupakan
pendapat pribadi penulis, karena sampai dengan saat ini belum ada peraturan
yang secara tegas mengatakan demikian.
Perbedaan
Pembukuan dan Pencatatan, Perbedaan utama pembukuan dan
pencatatan tentu saja terdapat pada proses/siklusnya. Pada pembukuan, Wajib
Pajak akan melakukan siklus akuntansi secara lengkap yaitu dari tahap
pencatatan, penggolongan, pengikhtisaran, hingga tahap pelaporan. Sedangkan
pada pencatatan, hanya mengalami siklus pencatatan saja, tanpa melalui siklus
yang lain. Perbedaan berikutnya terletak pada output. Tabel berikut menunjukkan
perbedaan output antara pembukuan dan pencatatan:
Pembukuan/pencatatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak
memiliki ciri kualitatif sebagai berikut:
1) dapat dipahami oleh fiskus
2) sensitivitas informasi, bukan materialitas
3) disajikan secara jujur, dengan itikad baik, substansi
penghasilan dan beban yang disajikan merupakan penghasilan dan beban yang diperbolehkan
oleh undang-undang
4) dapat dibandingkan dengan periode sebelumnya
5) disampaikan tepat waktu
6) bersifat independen terhadap akuntansi komersial
Itikad
Baik dalam Pembukuan/Pencatatan Baik pembukuan maupun pencatatan, harus diselenggarakan
dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha
yang sebenarnya. Wajib Pajak tidak diperkenankan membuat beberapa
pembukuan dengan tujuan yang berbeda-beda. Misalnya pembukuan untuk kepentingan
manajemen, pembukuan untuk kepentingan kreditur (bank), dan pembukuan untuk
kepentingan pemerintah (petugas pajak); karena hal itu justru menunjukkan Wajib
Pajak tidak mempunyai itikad baik dalam melaksanakan kewajiban pembukuannya.
Dimana
Pembukuan/Pencatatan harus Dilakukan? Pembukuan atau pencatatan dilaksanakan di Indonesia dengan
menggunakan huruf latin, angka arab, satuan mata uang rupiah, dan disusun dalam
bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh menteri keuangan. Berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan nomor 196/PMK.03/2007 sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Peraturan Menteri Keuangan nomor 24/PMK.011/2012, bahasa asing yang
diperkenankan adalah bahasa Inggris dengan mata uang asing yang dikenankan
adalah dolar AS. Wajib Pajak yang dapat menyelenggarakan pembukuan dengan bahasa
dan mata uang asing adalah:
a. WP PMA yang beroperasi berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan PMA, harus mendapatkan izin dari Menteri Keuangan dengan
mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Wilayah DJP sebagaimana diatur dalam
Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-10/PJ/2012
b. WP kontrak karya yang beroperasi berdasarkan kontrak
dengan pemerintah RI sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan
pertambangan migas dan selain pertambangan migas, wajib menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis ke KPP tempat WP terdaftar
c. BUT, harus mengajukan permohonan izin kepada Kepala
Kanwil DJP
d. WP yang mendaftarkan emisi sahamnya baik sebagian maupun
seluruhnya di bursa efek luar negeri, harus mendapatkan izin dari Menteri
Keuangan dengan mengajukan permohonan kepada Kepala Kanwil DJP
e. Kontrak Investasi Kolektif (KIK) yang menerbitkan
reksadana dalam denominasi satuan mata uang Dollar Amerika Serikat dan telah
memperoleh Surat Pemberitahuan Efektif Pernyataan Pendaftaran dari Badan
Pengawas Pasar Modal-Lembaga Keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
pasar modal, harus mendapatkan izin dari Menteri Keuangan dengan mengajukan
permohonan kepada Kepala Kanwil DJP
f. WP yang berafiliasi langsung dengan perusahaan induk
di luar negeri, yaitu perusahaan anak (subsidiary company) yang dimiliki
dan/atau dikuasai oleh perusahaan induk (parent company) di luar negeri yang
mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) huruf
a dan huruf b UU PPh, harus mendapatkan izin dari Menteri Keuangan dengan
mengajukan permohonan kepada Kepala Kanwil DJP
g. Wajib Pajak yang menyajikan laporan keuangan dalam
mata uang fungsionalnya menggunakan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat
sesuai Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia, harus
mendapatkan izin dari Menteri Keuangan dengan mengajukan permohonan kepada
Kepala Kanwil DJP
Ketentuan mengenai permohonan izin/pemberitahuan pembukuan
dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain rupiah diatur dalam
Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-10/PJ/2012.
Prinsip
Taat Asas Pembukuan
diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau
kas. Prinsip taat asas maksudnya pembukuan harus diselenggarakan secara
konsisten, atau sama setiap tahunnya, tidak boleh berganti-ganti, hal ini
bertujuan agar tidak terjadi pergeseran laba atau rugi. Prinsip taat asas misalnya
dilakukan dalam penerapan:
a) metode pengakuan penghasilan/stelsel
metode pengakuan penghasilan/stelsel
yang diperbolehkan adalah stelsel akrual atau stelsel kas. Dua metode ini harus
dilaksanakan secara konsisten, tidak boleh berubah. Stelsel akrual adalah suatu
metode penghitungan penghasilan dan biaya, yang pengakuan penghasilan diakui
pada saat diperoleh dan biaya diakui pada saat terutangnya meskipun penghasilan
dan biaya tersebut belum dibayar secara tunai. Stelsel akrual biasa kita sebut
sebagai acrual basis. Termasuk dalam pengertian stelsel akrual
adalah pengakuan penghasilan berdasarkan metode persentase tingkat penyelesaian
pekerjaan yang umumnya dilakukan oleh pengusaha di bidang konstruksi dan metode
lainnya yang dipakai dalam bidang tertentu seperti BOT, Real estate, dll.
Sebaliknya, stelsel kas adalah suatu
metode pengakuan penghasilan dan biaya yang penghitungannya didasarkan atas
penghasilan yang diterima dan biaya yang dibayar secara tunai. Stelsel kas
biasa kita kenal sebagai cash basis. Menurut stelsel ini,
penghasilan baru dianggap sebagai penghasilan jika benar-benar diterima secara
tunai dan biaya baru dianggap sebagai biaya jika benar-benar telah dibayar
tunai.
Namun, stelsel kas yang
diperbolehkan menurut UU PPh adalah stelsel kas yang campuran, bukan stelsel
kas murni. Oleh karena itu, Wajib Pajak yang menggunakan stelsel kas harus
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Penghitungan jumlah penjualan dalam suatu periode harus meliputi seluruh penjualan, baik yang tunai maupun yang bukan. Dalam menghitung harga pokok penjualan (HPP) harus diperhitugkan seluruh pembelian dan persediaan
b. Dalam memperoleh harta yang dapat disusutkan dan hak-hak yang dapat diamortisasi, biaya-biaya yang dikurangkan dari penghasilan hanya dapat dilakukan melalui penyusutan dan amortisasi
a. Penghitungan jumlah penjualan dalam suatu periode harus meliputi seluruh penjualan, baik yang tunai maupun yang bukan. Dalam menghitung harga pokok penjualan (HPP) harus diperhitugkan seluruh pembelian dan persediaan
b. Dalam memperoleh harta yang dapat disusutkan dan hak-hak yang dapat diamortisasi, biaya-biaya yang dikurangkan dari penghasilan hanya dapat dilakukan melalui penyusutan dan amortisasi
Tujuannya agar tidak terjadi pengaburan terhadap
penghasilan.
b) tahun buku
Tahun buku menurut UU KUP adalah
tahun yang dipergunakan Wajib Pajak dalam pembukuan, misalnya Januari-Desember,
April-Maret, Juli-Juni, dst.
c) metode penilaian persediaan
Metode penilaian persediaan yang
diperkenankan mengikuti Pedoman Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) yang berlaku.
d) metode penyusutan dan amortisasi
Metode penyusutan dan amortisasi
yang diperkenankan adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 11 UU PPh, yaitu
metode garis lurus atau metode saldo menurun.
Dalam hal terdapat perubahan
terhadap metode pembukuan dan/atau tahun buku harus mendapat persetujuan dari
Direktur Jenderal Pajak. Ketentuan mengenai perubahan tahun buku diatur di
beberapa ketentuan, diantaranya adalah:
a. Pasal 28 PP No 94/2010
a. Pasal 28 PP No 94/2010
b. Pasal 12 PP No 138/2000
c. Keputusan Direktur Jenderal Pajak nomor KEP-297/PJ./2002
d. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-40/PJ.42/1998
e. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-14/PJ.313/1991
Tujuan
Pembukuan/Pencatatan,Tujuan pembukuan/pencatatan tidak lain dan tidak bukan
adalah untuk mengetahui berapa besarnya pajak yang terutang dalam satu tahun
pajak. Itulah alasannya pembukuan harus dilakukan secara taat asas dan dengan
memperhatikan itikad baik. Secara rinci tujuan dari pembukuan/pencatatan adalah
untuk:
a. Memberikan informasi yang
diperlukan untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak dan Dasar Pengenaan
Pajak
b. Membantu Wajib Pajak untuk
menghitung besarnya pajak yang terutang
c. Mengetahui dan menilai tingkat
kepatuhan Wajib Pajak dalam menjalankan sistem self assesment, terutama
apabila sedang terjadi pemeriksaan atau penyidikan pajak.
Bukti Pembukuan/Pencatatan
Bukti/evidence dalam
pembukuan/pencatatan yang berupa buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar
pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari
pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi online
wajib disimpan selama 10 tahun
di Indonesia, yaitu di tempat tinggal Wajib Pajak Orang Pribadi, atau di tempat
kedudukan Wajib Pajak Badan. Jangka waktu 10 tahun ini sepertinya disesuaikan
dengan batas daluwarsa penyidikan di bidang perpajakan. Penyimpanan bukti
tersebut harus dilakukan dengan memperhatikan faktor keamanan, kelayakan, dan
kewajaran penyimpanan.
0 komentar:
Posting Komentar